Minggu, 14 Juli 2013

BAB Thoharoh

Thoharoh berasal dari bahasa arab, yaitu "thohir" yang artinya "suci". jadi dapat diartikan bahwa thoharoh adalah "bersuci".. Dalil yang memerintahkan untuk bersuci antara lain :

"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang mensucikan diri". (Al-Baqarah : 222).





"Dan bersihkanlah pakaianmu dan jauhilah perbuatan yang kotor (dosa). (Al-Muddatstsir : 4 - 5).

"Kebersihan itu sebagian dari iman." (HR. Mulim dari Abu Said Al-Khudri).

"Allah tidak akan menerima sholat seseorang yang tidak bersuci." (HR. Muslim).
dan bersuci itu sendiri ada beberapa cara untuk melakkannya, adalah dengan "

  • Berwudhu
    Wudhu werupakan cara untuk suci dari hadast kecil. air yang boleh dipakai untuk berwudhu pun telah ditentukan, yaitu air yang sifatnya thohir muthohir atau suci dan mensucikan. air yang sifatnya thohir muthohir adalah sebagai berikut :
    1. Air sumur
    2. Air hujan
    3. Air laut
    4. Air sungai
    5. Air telaga (mata air)
    6. Air embun
    7. Air salju/ es,

    sementara macam2 air adalah :
    • Air Mutlak
    • Air Mudhaf
    • Air Mutanajjis

                        Air mutlak adalah air yang suci dan menyucikan hadats dan khobats (kotoran manusia dan air kencing) seperti air mengalir, sumber air, air sumur, air hujan, dan air yang diam (Ada dua macam air diam yakni air yang banyak dan air yang sedikit. Air yang banyak adalah air yang mencapai satu kurr).
                        Air mudhaf adalah air yang suci tetapi tidak menyucikan hadats dan khobats (kotoran) seperti air buah-buahan (air jeruk, air anggur, air delima dll.), atau air yang telah dicampur dengan zat lain seperti air gula, air garam, air kopi, air bunga mawar dll.

                         Air mutanajjis adalah air mutlak yang bersentuhan dengan benda-benda najis seperti, kotoran, kencing, darah dan lain-lain sehingga tidak suci dan menyucikan. Air mutlak yang sedikit ketika bersentuhan dengan benda najis, maka berubah menjadi mutanajjis, sekalipun tidak berubah salah satu sifatnya, yakni warna, bau dan rasanya. Sedangkan air mutlak yang banyak akan berubah menjadi mutanajjis jika bersentuhan dengan benda najis dan berubah salah satu sifatnya (baunya, rasanya, atau warnanya).

    Demikian pula air mutlak lainnya (air yang mengalir, sumber air, air sumur dan air hujan) akan menjadi mutanajjis jika bersentuhan dengan benda najis dan berubah salah satu sifatnya.
    Air diam yang bersambung dengan air yang mengalir dihukumi sama dengan air yang mengalir dalam arti air itu tidak menjadi mutanajjis jika bersentuhan dengan benda najis kecuali jika berubah salah satu sifatnya.

    Yang dimaksud dengan air hujan di atas adalah air yang tengah turun dari langit atau yang terkumpul darinya di saat hujan turun.

    Air musta’mal (air yang sudah terpakai) untuk wudhu’ masih suci dan menyucikan demikian pula yang musta’mal dari hadas besar (mandi wajib) suci dan menyucikan dari hadats dan khobats. Air musta’mal untuk khobats disebut “ghasalah” dan hukumnya mutanajjis.

    catatan:
    1 kurr kira-kira 374 liter. Kalau menggunakan jengkal tangan [normal] kira-kira panjang tiga setengah, lebar tiga setengah, dalam tiga setengan. [jengkal]
     
  • Tayammum
    Tayamum adalah pengganti wudhu atau mandi wajib yang tadinya seharusnya menggunakan air bersih digantikan dengan menggunakan tanah atau debu yang bersih. Yang boleh dijadikan alat tayamum adalah tanah suci yang ada debunya. Dilarang bertayamum dengan tanah berlumpur, bernajis atau berbingkah. Pasir halus, pecahan batu halus boleh dijadikan alat melakukan tayamum.
    Tayamum yang telah dilakukan bisa batal apabila ada air dengan alasan tidak ada air atau bisa menggunakan air dengan alasan tidak dapat menggunakan air tetapi tetap melakukan tayamum serta sebab musabab lain seperti yang membatalkan wudu dengan air.

    B. Sebab / Alasan Melakukan Tayamum :
    - Dalam perjalanan jauh
    - Jumlah air tidak mencukupi karena jumlahnya sedikit
    - Telah berusaha mencari air tapi tidak diketemukan
    - Air yang ada suhu atau kondisinya mengundang kemudharatan
    - Air yang ada hanya untuk minum
    - Air berada di tempat yang jauh yang dapat membuat telat shalat
    - Pada sumber air yang ada memiliki bahaya
    - Sakit dan tidak boleh terkena air

    C. Syarat Sah Tayamum :
    - Telah masuk waktu salat
    - Memakai tanah berdebu yang bersih dari najis dan kotoran
    - Memenuhi alasan atau sebab melakukan tayamum
    - Sudah berupaya / berusaha mencari air namun tidak ketemu
    - Tidak haid maupun nifas bagi wanita / perempuan
    - Menghilangkan najis yang yang melekat pada tubuh

    D. Sunah / Sunat Ketika Melaksanakan Tayamum :
    - Membaca basmalah
    - Menghadap ke arah kiblat
    - Membaca doa ketika selesai tayamum
    - Medulukan kanan dari pada kiri
    - Meniup debu yang ada di telapak tangan
    - Menggodok sela jari setelah menyapu tangan hingga siku

    E. Rukun Tayamum :
    - Niat Tayamum.
    - Menyapu muka dengan debu atau tanah.
    - Menyapu kedua tangan dengan debu atau tanah hingga ke siku.
    F. Tata Cara / Praktek Tayamum :
    - Membaca basmalah
    - Renggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
    - Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
    - Niat tayamum : Nawaytuttayammuma listibaa hatishhalaati fardhollillahi ta'aala (Saya niat tayammum untuk diperbolehkan melakukan shalat karena Allah Ta'ala).
    - Mengusap telapak tangan ke muka secara merata
    - Bersihkan debu yang tersisa di telapak tangan
    - Ambil debu lagi dengan merenggangkan jari-jemari, tempelkan ke debu, tekan-tekan hingga debu melekat.
    - Angkat kedua tangan lalu tiup telapat tangan untuk menipiskan debu yang menempel, tetapi tiup ke arah berlainan dari sumber debu tadi.
    - Mengusap debu ke tangan kanan lalu ke tangan kiri


     
  • Mandi
    Beberapa hal yang mewajibkan untuk mandi (al ghuslu):

    Pertama
    : Keluarnya mani dengan syahwat.

         Sebagaimana dijelaskan oleh ulama Syafi’iyah, mani bisa dibedakan dari madzi dan wadi dengan melihat ciri-ciri mani yaitu:
    [1] baunya khas seperti bau adonan roti ketika basah dan seperti bau telur ketika kering,
    [2] birnya memancar,
    [3] keluarnya terasa nikmat dan mengakibatkan futur (lemas).
       
         Jika salah satu syarat sudah terpenuhi, maka cairan tersebut disebut mani. Wanita sama halnya dengan laki-laki dalam hal ini. Namun untuk wanita tidak disyaratkan air mani tersebut memancar sebagaimana disebutkan oleh An Nawawi dalam Syarh Muslim dan diikuti oleh Ibnu Sholah.
    Dalill bahwa keluarnya mani mewajibkan untuk mandi adalah firman Allah Ta’ala,
    Dan jika kamu junub maka mandilah.” (QS. Al Maidah: 6)

    Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi.” (QS. An Nisa’: 43)
    Dalil lainnya dapat kita temukan dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    Sesungguhnya (mandi) dengan air disebabkan karena keluarnya air (mani).” (HR. Muslim no. 343)
    Kedua: Bertemunya dua kemaluan walaupun tidak keluar mani.
                       Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

    Jika seseorang duduk di antara empat anggota badan istrinya (maksudnya: menyetubuhi istrinya , pen), lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib baginya mandi.” (HR. Bukhari no. 291 dan Muslim no. 348)
    Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan,

    “Walaupun tidak keluar mani.”
    Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

    Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (HR. Muslim no. 350)

    Imam Asy Syafi’i rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “junub” dalam bahasa Arab dimutlakkan secara hakikat pada jima’ (hubungan badan) walaupun tidak keluar mani. Jika kita katakan bahwa si suami junub karena berhubungan badan dengan istrinya, maka walaupun itu tidak keluar mani dianggap sebagai junub. Demikian nukilan dari Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari.

    Ketika menjelaskan hadits Abu Hurairah di atas, An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Makna hadits tersebut adalah wajibnya mandi tidak hanya dibatasi dengan keluarnya mani. Akan tetapi, -maaf- jika ujung kemaluan si pria telah berada dalam kemaluan wanita, maka ketika itu keduanya sudah diwajibkan untuk mandi. Untuk saat ini, hal ini tidak terdapat perselisihan pendapat. Yang terjadi perselisihan pendapat ialah pada beberapa sahabat dan orang-orang setelahnya. Kemudian setelah itu terjadi ijma’ (kesepakatan) ulama (bahwa meskipun tidak keluar mani ketika hubungan badan tetap wajib mandi) sebagaimana yang pernah kami sebutkan.”

    Ketiga
    : Ketika berhentinya darah haidh dan nifas.
                          Dalil mengenai hal ini adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam berkata pada Fathimah binti Abi Hubaisy,

    Apabila kamu datang haidh hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haidh berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.” (HR. Bukhari no. 320 dan Muslim no. 333).
    Untuk nifas dihukumi sama dengan haidh berdasarkan ijma’ (kesepakatan) para ulama. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Mengenai wajibnya mandi karena berhentinya darah haidh tidak ada perselisihan di antara para ulama. Yang menunjukkan hal ini adalah dalil Al Qur’an dan hadits mutawatir (melalui jalur yang amat banyak). Begitu pula terdapat ijma’ (kesepakatan) ulama mengenai wajibnya mandi ketika berhenti dari darah nifas.”

    Keempat
    : Ketika orang kafir masuk Islam.
             Mengenai wajibnya hal ini terdapat dalam hadits dari Qois bin ‘Ashim radhiyallahu ‘anhu,

    Beliau masuk Islam, lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk mandi dengan air dan daun sidr (daun bidara).” (HR. An Nasai no. 188, At Tirmidzi no. 605, Ahmad 5/61. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
    Perintah yang berlaku untuk Qois di sini berlaku pula untuk yang lainnya. Dalam kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Ulama yang mewajibkan mandi ketika seseorang masuk Islam adalah Imam Ahmad bin Hambal dan pengikutnya dari ulama Hanabilah, Imam Malik, Ibnu Hazm, Ibnull Mundzir dan Al Khottobi

    Kelima
    : Karena kematian.
                 Yang dimaksudkan wajib mandi di sini ditujukan pada orang yang hidup, maksudnya orang yang hidup wajib memandikan orang yang mati. Jumhur (mayoritas) ulama menyatakan bahwa memandikan orang mati di sini hukumnya fardhu kifayah, artinya jika sebagian orang sudah melakukannya, maka yang lain gugur kewajibannya. Penjelasan lebih lengkap mengenai memandikan mayit dijelaskan oleh para ulama secara panjang lebar dalam Kitabul Jana’iz, yang berkaitan dengan jenazah.
    Dalill mengenai wajibnya memandikan si mayit di antaranya adalah perintah Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ummu ‘Athiyah dan kepada para wanita yang melayat untuk memandikan anaknya,

    Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian).” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 939).
    Berdasarkan kaedah ushul, hukum asal perintah adalah wajib. Sedangkan tentang masalah ini tidak ada dalil yang memalingkannya ke hukum sunnah (dianjurkan). Kaum muslimin pun telah mengamalkan hal ini dari zaman dulu sampai saat ini.
    Yang wajib dimandikan di sini adalah setiap muslim yang mati, baik laki-laki atau perempuan, anak kecil atau dewasa, orang merdeka atau budak, kecuali jika orang yang mati tersebut adalah orang yang mati di medan perang ketika berperang dengan orang kafir.

  • Istinja'                    Apabila keluar kotoran dari salah satu dua pintu keluar kotoran, maka wajib istinja, dengan air atau dengan tiga buah batu.

    nabi bersabda:
    " apabila salah seorang dari kamu beristinja dengan batu hendaklah ganjil." (HR BUKHARI dan MUSLIM).

    Dalam hadits ini disebutkan tiga batu, berarti tiga buah batu atau satu batu bersegi tiga. Yang dimaksud dengan batu di sini ialah setiap benda yang keras,suci, dan kesat seperti kayu,tembikar dan sebagainya.
    Adapun benda yang licin seperti kaca, tidak sah untuk istinja.

    Salah satu syarat istinja dengan batu dan sejenisnya hendaklah di lakukan sebelum kering. Jika kotoran itu sudah kering maka tidak sah lagi ber istinja dengan batu,melainkan harus dengan air.
    Catatan : lakukanlah istinja dengan batu dan sejenisnya hanya karena mudlaratnya saja, karena sebagian ulama mengatakan ketika selesai beristinja dengan batu dan sejenisnya dan setelah itu pula kita ketemu dengan air yang sah untuk bersuci ,maka gugurlah hukum beristinja dengan batu dan sejenisnya.

     lebih afdhol  beristinja dengan air

    Diriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam memasuki tempat buang air, lalu aku dan seorang anak kecil lainnya membawakan segayung air dan tongkat kecil. Maka beliau beristinja’ dengan air.”

    Beristinja’ dengan air lebih baik daripada beristijamr dengan batu. Allah subhanallahu wa ta’ala telah memuji ahli Quba’ karena beristinja’ dengan air.
    Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu secara marfu’ bahwa ayat ini turun berkenaan dengan penduduk Quba’:
    “Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri.” (At-Taubah: 108)

    Ia berkata, “Mereka beristinja’ dengan air, lalu turunlah ayat ini tentang mereka.” At-Tirmidzi (I/31) berkata, “Hal inilah yang berlaku di kalangan ahli ilmu. Mereka memilih beristinja’ dengan air. Adapun beristinja’ dengan batu, menurut mereka, sudah mencukupi. Namun, mereka menyukai beristinja’ dengan air dan memandangnya lebih afdhal. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Ats-Tsauri, Ibnu Al-Mubarak, Asy-Syafi’I, Ahmad, dan Ishaq.”


    bersuci diwajibkan ketika kita terkena najis. dan najis2 itu adalah :
    1. Najis mugholadoh
    2. Najis mukhofafah
    3. Najis mutawasitoh

    Najis mugholadoh yaitu najis berat yang berasal dari ANJING dan BABI serta keturunan anjing dan babi

    Cara membersihkannya yaitu dengan mencuci najis tersebut dengan air sebanyak 7 kali dan salah satunya harus di campur dengan tanah.

    Najis mukhofafah yaitu najis ringan berasal dari air kencing anak laki2 yang belum berumur 2 tahun dan belum di beri makan apapun selain Air Susu Ibu.

    Cara membersihkannya cukup di siram dengan air setelah menghilang a'innya.

    Najis mutawasitoh yaitu najis pertengahan yang merupakan sisa najis contohnya kotoran hewan, kotoran manusia, darah dan nanah.

    Najis mutawasitoh ini terbagi ke dalam dua bagian :

    Yang pertama najis a'iniah yaitu najis yang ada wujudnya contohnya kotoran hewan, manusia dsb.
    Cara membersihkannya dengan cara menghilangkan a'innya sampai hilang bau, warna, dan rasanya.

    Yang keadua najis hukmiah yaitu najis yang tidak terlihat. Contohnya ais seni yang sudah mengering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar