Sabtu, 06 Juli 2013

Cerpen : CenderaMata Si Ragil, oleh : H.Utoyo Dimyati, M.Ag


         Mbok Marsih termenung di emper rumah. Pikirannya menerawang jauh. Pada sebuah tempat yang belum pernah ia lihat dan ia singgahi, dalam  mimpi sekali pun. Sebuah kota yang ia sering dengar dari cerita para jamaah haji selagi mereka pulang. Kota besar kata mereka. Ada petialasan makam Nabi Adam, ada masjid megah terapung di atas laut dan  masih banyak lagi. Beberapa tahun terakhir ini ia sangat antusias begitu para jamaah haji bercerita tentang kota itu. Bukan karena ia ingin segera melihat atau berziarah ke sana. Bukan. Meskipun keinginan dan niatan itu ada. Setiap muslim yang baik pasti punya keinginan melaksanakan ibadah haji, karena itu memang perintah agama. Satu  kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan manakala ia mampu. Namun buat orang macam  Mbok Marsih keinginan itu rasanya bakal sulit terwujud tanpaada keajaiban. Tangeh lamun,  menurut istilah Orang Jawa. Cukup buat makan sehari-hari saja, ia sudah bersyukur. Ia tidak biasa berpikir muluk-muluk. Bila akhir-akhir ia sangat tertarik ketika nama kota itu disebut, karena di kota tersebut anak perempuan ragilnya mengais rizki sebagai TKW. Hampir empat tahun belum pernah pulang. Ketika kontrak dua tahunannya berakhir tempo dulu ia cuma berkirim berita lewat telpon pada kakakaknya bahwa kontraknya diperpanjang dua tahun lagi. Dalam hati, Mbok Marsih merasa keberatan tapi apa yang bisa ia perbuat. Ia tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti juga ketika ragilnya itu minta ijin untuk berangkat ke Saudi pertama kali, ia sudah berusaha melarang. Tapi ragilnya memaksanya dengan alasan, mumpung ia belum bersuami dan  mencari pekerjaan di tanah air sulit. Ketika itu ia memberikan contoh para tetangga dan temannya yang sudah berangkat duluan telah berhasil membangun rumah, bahkan ada yang mampu  membeli sawah sebagai tabungan. Dengan pertimbangan agar ragilnya itu bisa memperbaiki masa depannya, akhirnya ia mengijinkan juga. Ternyata waktu  itu telah berjalan cukup lama. Sudah hampir empat tahun. Bahkan menurut berita yang disampaikan lewat telpon kakaknya sore kemarin, bulan depan ragilnya pulang. Karena itulah pagi itu Mbok Marsih termenung sendirian di emper rumah. Ia berpikir untuk  sekedar mengadakan syukuran dalam rangka menyambut kepulangan ragilnya nanti. Meskipun anaknya berpesan wanti-wanti lewat telpon kakaknya agar tidak usah memberitahu siapa pun. Namun tidak enak rasanya anak  yang pulang jauh-jauh dari perantauan tidak disambut denga suka cita dan bancaan sekedarnya.  



            Sore itu di rumah Mbok Marsih terlihat regeng. Kursi tamu yang biasa ditaruh di dalam dipindah di emper. Sedang di dalam rumah digelari tikar. Rumah Mbok Minah masih model kuno dengan ruang tengah yang luas. Cuma sudah dipasang keramik dan dipoles di sana-sini agar terlihat tidak begitu ketinggalan dengan beaya dari keringat ragilnya selama ini. Perempuan tua itu mengundang saudara-saudara serta tetanggga dekatnya untuk menyambut ragilnya yang rencananya akan datang sore itu juga. Suasana sudah ramai. Para tamu undangan sudah berdatangan. Mereka duduk bersimpuh di ruang tengah. Para tamu lelaki di sebelah kanan ruangan dan tamu perempuan di sebelah kiri. Namun antar keduanya tidak terpisah dengan tutup yang istilah santrinya disebut  satir. Ragam kue dan makanan tersaji di depan mereka. Sebagian tertata di lodong dan sebagan lagi ditaruh di piring. Mereka asyik berbincang-bincang dengan sesekali menikmati hidangan yang tersedia. Hampir semuanya dengan  topik TKW dengan ragam perniknya. Sementara para keluarga dekat duduk-duduk di kursi depan dengan harap cemas menanti Si Ragil. Mbok Marsih sendiri tidak bisa menyembunyikan hatinya yang gelisah. Ia terlihat mondar-mandir dari emper ke halaman rumah dan sesekali menengok ke jalan. Raut wajahnya yang sudah tua nampak lebih tua. Ada perasaan asing yang gelisah meningkahi rasa rindu yang mendalam terhadap ragilnya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya gelisah. Sebentar lagi anak prempuan yang ia rindukan selama ini bakal datang. Seharusnya ia bergembira dengan wajah yang ber seri dan tidak bercampur dengan perasaan-perasaan aneh yang mengganggu. Namun perasaan tetap perasaan dan  ia tidak mampu  menepisnya. Nalurinya sebagai ibu merasa sangat khawatir.gerangan cerita sedih apa yang bakal menimpa dirinya atau menimpa ragilnya. Apakah anaknya akan mengalami kecelakaan di jalan atau uang dan bekalnya ditipu orang ia tidak tahu. Berkali-kali ia berusaha menghalau perasaan dan bayangan yang membelit hatinya. Tapi begitu ia hilang sebentar datang lagi.



            Akhirnya sebuah taksi berhenti tepat di depan rumah. Ketika itu hari sudah lewat senja. Matahari sudah tenggelam dengan meninggalkan semburat merah di langit sebelah barat. Sebagian tamu sudah mohon pamit untuk berjamaah maghrib. Nanti habis sholat meraka akan kembali katanya. Namun sebagian lagi masih menunggu. Mereka berpikir untuk mengerjakan sholat agak belakangan. Barangkali yang mereka tunggu bakal segera datang, karena lewat pantauan HP jaraknya sudah dekat. Ternyata dugaan mereka benar. Mereka pun berhamburan keluar untuk sekedar berjabat tangan atau saling memeluk sebagai obat rindu.
Alangkah kaget mereka, seolah tidak percaya, dari pintu taksi yang terbuka seorang perempuan dengan tubuh yang berbalut rapat oleh busana dengan identitas muslimah yang sempurna keluar dengan menggendong seorang bayi mungil. Tanpa memperhatikan mereka, perempuan itu bergegas masuk ke rumah dan langsung masuk ke kamar tanpa keluar lagi.  Seolah sudah ada perjanjian sebelumnya,  para tamu pun pulang satu persatu dengan berpamitan sekedarnya. Pesta syukuran pun urung terjadi. Nasi yang sudah tertata di dapur gagal dikeluarkan. Esok paginya berita tersebut sudah tersebar luas dengan suara keras dan nyaring layaknya suara genderang.
Mbok Marsih kembali termenung dengan perasaan malu dan  penyesalan yang mendalam. Entah sampai kapan perasaan itu akan hilang. Kerut ketuaan di wajahnya yang memang sudah tua, makin  bertambah tua. Betul kata orang bijak perasaan ibu tidak bisa ditipu.






                                                                                                            Utoyo Dimyati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar