Mbok Marsih termenung di emper rumah. Pikirannya menerawang jauh.
Pada sebuah tempat yang belum pernah ia lihat dan ia singgahi, dalam mimpi sekali pun. Sebuah kota yang ia sering
dengar dari cerita para jamaah haji selagi mereka pulang. Kota besar kata
mereka. Ada petialasan makam Nabi Adam, ada masjid megah terapung di atas laut
dan masih banyak lagi. Beberapa tahun
terakhir ini ia sangat antusias begitu para jamaah haji bercerita tentang kota
itu. Bukan karena ia ingin segera melihat atau berziarah ke sana. Bukan.
Meskipun keinginan dan niatan itu ada. Setiap muslim yang baik pasti punya
keinginan melaksanakan ibadah haji, karena itu memang perintah agama. Satu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan
manakala ia mampu. Namun buat orang macam
Mbok Marsih keinginan itu rasanya bakal sulit terwujud tanpaada
keajaiban. Tangeh lamun, menurut
istilah Orang Jawa. Cukup buat makan sehari-hari saja, ia sudah bersyukur. Ia
tidak biasa berpikir muluk-muluk. Bila akhir-akhir ia sangat tertarik
ketika nama kota itu disebut, karena di kota tersebut anak perempuan ragilnya
mengais rizki sebagai TKW. Hampir empat tahun belum pernah pulang. Ketika
kontrak dua tahunannya berakhir tempo dulu ia cuma berkirim berita lewat telpon
pada kakakaknya bahwa kontraknya diperpanjang dua tahun lagi. Dalam hati, Mbok
Marsih merasa keberatan tapi apa yang bisa ia perbuat. Ia tidak bisa berbuat
apa-apa. Seperti juga ketika ragilnya itu minta ijin untuk berangkat ke Saudi
pertama kali, ia sudah berusaha melarang. Tapi ragilnya memaksanya dengan
alasan, mumpung ia belum bersuami dan
mencari pekerjaan di tanah air sulit. Ketika itu ia memberikan contoh para
tetangga dan temannya yang sudah berangkat duluan telah berhasil membangun
rumah, bahkan ada yang mampu membeli
sawah sebagai tabungan. Dengan pertimbangan agar ragilnya itu bisa memperbaiki
masa depannya, akhirnya ia mengijinkan juga. Ternyata waktu itu telah berjalan cukup lama. Sudah hampir
empat tahun. Bahkan menurut berita yang disampaikan lewat telpon kakaknya sore
kemarin, bulan depan ragilnya pulang. Karena itulah pagi itu Mbok Marsih
termenung sendirian di emper rumah. Ia berpikir untuk sekedar mengadakan syukuran dalam rangka
menyambut kepulangan ragilnya nanti. Meskipun anaknya berpesan wanti-wanti
lewat telpon kakaknya agar tidak usah memberitahu siapa pun. Namun tidak enak
rasanya anak yang pulang jauh-jauh dari
perantauan tidak disambut denga suka cita dan bancaan sekedarnya.
Sore itu di rumah
Mbok Marsih terlihat regeng. Kursi tamu yang biasa ditaruh di dalam
dipindah di emper. Sedang di dalam rumah digelari tikar. Rumah Mbok Minah masih
model kuno dengan ruang tengah yang luas. Cuma sudah dipasang keramik dan
dipoles di sana-sini agar terlihat tidak begitu ketinggalan dengan beaya dari keringat
ragilnya selama ini. Perempuan tua itu mengundang saudara-saudara serta
tetanggga dekatnya untuk menyambut ragilnya yang rencananya akan datang sore
itu juga. Suasana sudah ramai. Para tamu undangan sudah berdatangan. Mereka
duduk bersimpuh di ruang tengah. Para tamu lelaki di sebelah kanan ruangan dan
tamu perempuan di sebelah kiri. Namun antar keduanya tidak terpisah dengan
tutup yang istilah santrinya disebut satir. Ragam kue dan makanan tersaji di
depan mereka. Sebagian tertata di lodong dan sebagan lagi ditaruh di piring. Mereka
asyik berbincang-bincang dengan sesekali menikmati hidangan yang tersedia.
Hampir semuanya dengan topik TKW dengan
ragam perniknya. Sementara para keluarga dekat duduk-duduk di kursi depan
dengan harap cemas menanti Si Ragil. Mbok Marsih sendiri tidak bisa
menyembunyikan hatinya yang gelisah. Ia terlihat mondar-mandir dari emper ke
halaman rumah dan sesekali menengok ke jalan. Raut wajahnya yang sudah tua
nampak lebih tua. Ada perasaan asing yang gelisah meningkahi rasa rindu yang
mendalam terhadap ragilnya. Ia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya gelisah.
Sebentar lagi anak prempuan yang ia rindukan selama ini bakal datang.
Seharusnya ia bergembira dengan wajah yang ber seri dan tidak bercampur dengan
perasaan-perasaan aneh yang mengganggu. Namun perasaan tetap perasaan dan ia tidak mampu menepisnya. Nalurinya sebagai ibu merasa
sangat khawatir.gerangan cerita sedih apa yang bakal menimpa dirinya atau
menimpa ragilnya. Apakah anaknya akan mengalami kecelakaan di jalan atau uang
dan bekalnya ditipu orang ia tidak tahu. Berkali-kali ia berusaha menghalau
perasaan dan bayangan yang membelit hatinya. Tapi begitu ia hilang sebentar
datang lagi.
Akhirnya sebuah
taksi berhenti tepat di depan rumah. Ketika itu hari sudah lewat senja.
Matahari sudah tenggelam dengan meninggalkan semburat merah di langit sebelah
barat. Sebagian tamu sudah mohon pamit untuk berjamaah maghrib. Nanti habis
sholat meraka akan kembali katanya. Namun sebagian lagi masih menunggu. Mereka
berpikir untuk mengerjakan sholat agak belakangan. Barangkali yang mereka
tunggu bakal segera datang, karena lewat pantauan HP jaraknya sudah dekat.
Ternyata dugaan mereka benar. Mereka pun berhamburan keluar untuk sekedar
berjabat tangan atau saling memeluk sebagai obat rindu.
Alangkah kaget mereka, seolah tidak percaya, dari pintu taksi yang
terbuka seorang perempuan dengan tubuh yang berbalut rapat oleh busana dengan
identitas muslimah yang sempurna keluar dengan menggendong seorang bayi mungil.
Tanpa memperhatikan mereka, perempuan itu bergegas masuk ke rumah dan langsung
masuk ke kamar tanpa keluar lagi. Seolah
sudah ada perjanjian sebelumnya, para
tamu pun pulang satu persatu dengan berpamitan sekedarnya. Pesta syukuran pun
urung terjadi. Nasi yang sudah tertata di dapur gagal dikeluarkan. Esok paginya
berita tersebut sudah tersebar luas dengan suara keras dan nyaring layaknya
suara genderang.
Mbok Marsih kembali termenung dengan perasaan malu dan penyesalan yang mendalam. Entah
sampai kapan perasaan itu akan hilang. Kerut ketuaan
di wajahnya yang memang sudah tua, makin
bertambah tua. Betul kata orang bijak perasaan ibu tidak bisa ditipu.
Utoyo
Dimyati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar